Thursday 6 February 2014

ISLAMISASI BUKAN ARABISASI


Islamisasi dan Arabisasi seringkali di identikan, tak kurang dari Prof. Ismail Al-Faruqi sebelum mendapatkan pemahaman yang benar, sempat menganggap sama antara keduanya, bahkan menafikan Islamisasi dengan bersiteguh pada arabisme. Pemikiran semacam inilah yang kini melanda para "Pemikir keagamaan", kita di tanah air seperti asumsi  mereka yang menyebutkan bahwa ucapan salam dan pakaian jilbab adalah budaya Arab merupakan bukti kekaburan pemahaman jika tidak dapat dikatakan ketidak mengertian mereka.

Prof. Fazlur Rahman memberikan gambaran mengenai hubungan antara keduanya dengan mengatakan bahwa Islamisasi tidak sama dan sebangun dengan Arabisasi. Inilah yang menyadarkan Al-Faruqi sehingga menjadikannya selaku penganjur Islamisasi. Ide Islamisasi Al-Faruqi misalnya mengenai Islamisasi sistem pendidikan, beliau mengatakan bahwa sistem pendidikan Islami harus mengarah pada terciptanya paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengajaran.


Mensikapi arus Islamisasi yang demikian derasnya, ternyata para "Pemikir keagamaan" kita tidak melihatnya dengan lapang dada, bahkan menyambutnya dengan muka masam dan sempit hati. dengan menyebut sebagai budaya arab atau hanya sekedar simbol. Jika kita mau jujur dalam menganalisa, akan nampak jelas bahwa antara Islamisasi dengan Arabisasiterdapat perbedaaan yang tajam, seperti pada masalah harkat dan hak wanita, masalah aurat dan dan pakaian wanita, masalah hukum waris dan masih banyak lagi yang lainnya. Masalah pakaian dan aurat wanita misalnya, jika dikatakan bahwa memakai hijab adalah budaya Arab itu salah besar. Saat ini memang sudah dijadikan bagian integral dari budaya Arab, tetapi harus di ingat hal itu terjadi setelah berinteraksi dengan Islam berabad-abad lamanya sehingga Islam telah mensibghah budaya Arab lama, jadi yang terlihat kini adalah budaya Islam yang telah dijadikan budaya Arab. Masalah hijab adalah masalah Syari'ah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'i, sehingga penolakan terhadapnya berarti kekufuran.


Demikian pula dengan masalah harkat dan hak wanita serta masalah hukum waris, dalam budaya Arab lama wanita mengalami diskriminasi yang demikian mengenaskan sampai keluar dari batas-batas prikemanusiaan, seperti: Bayi wanita dikubur hidup-hidup, lelaki dibolehkan beristri berapa saja sekehendaknya, suami dibenarkan untuk menelantarkan istrinya terkatung-katung tanpa nafkah, dan yang sangat menjijikan adalah dibenarkannya untuk mewariskan wanita apabila ditinggal mati suaminya dan masih segudang lagi kekejian lainnya. Mengenai hal yang terakhir 'Atha bin Abi Rabbah rahimahullah menjelaskan: "Pada zaman jahiliyah duhulu, jika seorang lelaki mati meninggalkan istri, istrinya ditahan menunggu sampai anak lelaki dari istri yang lainnya menjadi dewasa, untuk mewarisinya".


Sementara itu, ada dua asumsi zhanni yang mungkin dapat mengantarkan para "Pemikir keagamaan" kita kepada sikap yang demikian: Pertama, sedikit banyaknya ada juga anasir ke-Araban yang dijadikan Syari'ah Islam. Kedua, sedikit banyaknya pasti ada anasir kebiasaan dan kepribadian rasul yang dijadikan Syari'ah Islam. Kedua asumsi tersebut berangkat dari premis yang menyebutkan bahwa warna ketokohan seseorang merupakan bias dari watak kepribadiannya, sedang kepribadian terbentuk erat sekali kaitannya dengan faktor-faktor culture-sosiologis, kondisi geografis maupun corak ideologisyang berkembang, sehingga sangat manusiawi jika ada pengaruh "Budaya lokal" dan "Kebiasaan harian" yang dijadikan bagian integral dari misi utamanya selaku seorang rasul.


menjawab hal ini Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban menegaskan: "Perilaku Nabi merupakan taujih Rabbany (arahan Ilahi), ia bukan sekedar reaksi spontan terhadap situasi yang menghadangnya. Rasulullah saw adalah manusia biasa yang terjaga dalam kondisi fithrah al-hanifah, sebelum bi'tsah ia merupakan seorang pemuda yang terbebas dari pengaruh-pengaruh inhiraf yang berkembang marak dimasyarakatnya, apakah lagi sedang bi'tsah Allah Azza wa Jalla tegas-tegas segala perkataan, perbuatan dan taqrirnya (QS. An-Najm: 3-4)


Berangkat dari asumsi keduanya, banyak para "Pemikir keagamaan" beropini bahwa dengan demikian harus ada pemisahan yang jelas antara tugasnya selaku rasul dengan perannya sebagai pengemban, tugas-tugas selaku manusia. Asumsi ini merupakan starting point bagi tumbuhnya sifat dan sikap sekuler yang sangat membahayakan. Tegasnya, dua asumsi tersebut dapat mengantarkan kita kepada paham sekulerisme apalagi jika kita tidak berhati-hati dalam menganalisisnya. Bukankah salah satu kelebihan sirah Rasulullah saw. terletak pada kelengkapan peran yang di embannya yang mencakup keseluruhan segi-segi kemanusiaan.