Pada artikel ini, kita akan membahas dimensi-dimensi genosida dan kebiadaban yang
dilakukan kaum Nazi pada kaum Yahudi dan ras-ras lain selama Perang Dunia
II. Satu fakta yang perlu diperjelas
adalah bahwa kami sepenuhnya menentang keras semua bentuk genosida, penyiksaan,
dan kekejaman, tanpa memandang agama, ras, atau asal etnisnya. Kami sepenuhnya mengutuk serangan tak
beralasan sekecil apa pun terhadap kaum Yahudi maupun bangsa-bangsa lain.
Alasannya
adalah bahwa sebagai Muslim, kita mengikuti petunjuk yang diberikan Allah di
dalam Al Qur’an. Di dalam kitab itu,
siapa pun yang melakukan kejahatan di dunia ini, berbuat kejam kepada orang
lain, atau membunuh tanpa hak, akan dilaknat.
Menurut satu firman Ilahiah yang ada dalam Taurat, dan telah dijelaskan
kepada kita di dalam Al Qur’an, “...barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia
telah membunuh manusia seluruhnya...”(QS.
Al-Maidah, 5: 32). Karena itu, pembunuhan
bahkan satu saja orang tak bersalah, merupakan kejahatan yang tak boleh
dianggap remeh.
Adalah suatu
fakta yang terang bahwa selama Perang Dunia II dan tahun-tahun sebelumnya, yang
merupakan pokok bahasan buku ini, kaum Yahudi menjadi korban kebiadaban dan
pembantaian besar-besaran. Kami mengutuk
pembunuhan dan penindasan orang-orang tak bersalah ini oleh Nazi, atau siapa
pun. Hal ini tak terbatas pada kaum
Yahudi: mutlak tak ada pembenaran bagi kekejaman yang ditimpakan kepada puluhan
juta orang tak bersalah yang kehilangan nyawa pada Perang Dunia II (apakah ia
orang Jerman, Rusia, Inggris, Perancis, Jepang, Cina, gipsi, Kroasia, Polandia,
Serbia, Arab, Bosnia, atau bangsa apa pun).
Para sejarawan menaksir bahwa sekitar 29 juta rakyat sipil terbunuh oleh
Nazi sebelum dan selama perang, di kamp-kamp konsentrasi, ghetto-ghetto
(perkampungan kumuh Yahudi), pembantaian militer dan pembunuhan politik.
Satu dari dua masalah penting yang dibahas buku ini adalah
bahwa Nazi Jerman, yang bertanggung jawab atas kebengisan mengerikan itu, juga
terlibat kerjasama rahasia dengan sejumlah pendiri negara Israel. Banyak orang mungkin merasa hal ini sangat
mengejutkan, namun fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa beberapa pendiri
negara Israel, dengan kata lain kaum Zionis, pada satu waktu terlibat kerjasama
yang erat dengan Nazi Jerman. Dasar
tindakan itu adalah mereka berpikir bahwa tekanan Nazi akan menjadi alasan kuat
bagi kaum Yahudi Eropa berpindah ke Palestina.
Secara ekonomi dan politik, mereka mendukung kekuasaan Nazi yang akan
melakukan kekejaman pada kaum mereka sendiri, dan banyak bangsa lainnya, serta
menyambut gembira kebijakan-kebijakan rasis Nazi.
Ini suatu hal penting, karena kebiadaban Nazi dan tragedi
kaum Yahudi yang menjadi korbannya telah digunakan sebagai alat politik sejak
Perang Dunia II hingga kini. Untuk
membenarkan kebijakan pendudukan dan terornya, dan membungkam kecaman yang
terarah padanya, negara Israel terus bersembunyi di balik konsep ‘Holokaus’. Sesungguhnya, berdirinya negara Israel
sebagian besar dimungkinkan berkat dukungan dan simpati dunia yang diilhami
konsep genosida itu. Hal lain yang akan
kita bahas dalam buku ini adalah fakta bahwa kebijakan pemusnahan Nazi tak
hanya ditujukan pada kaum Yahudi, namun juga pada etnis, kelompok agama dan
kelompok etnis lain, seperti orang-orang gipsi, Polandia, Slavia, penganut
Katolik yang taat, penganut Kesaksian Yehova (sebuah aliran agama Nasrani),
serta para penyandang cacat fisik dan mental.
Benar bahwa kaum Yahudi, yang 5,5 juta orang di antaranya terbunuh di
kamp-kamp konsentrasi, adalah korban terbanyak kebiadaban Nazi. Namun, sebenarnya, jumlah seluruh korban yang
terbunuh di kamp-kamp itu mencapai lebih dari 11 juta orang, dan lebih dari
setengah jumlah itu mencakup anggota bangsa-bangsa yang disebutkan di
atas. Genosida yang ditimpakan kepada
orang-orang ini harus dikenang tak kurang daripada yang ditimpakan kepada kaum
Yahudi. Penggambaran bahwa kebiadaban
Nazi khusus ditujukan kepada kaum Yahudi adalah bagian dari upaya ‘mengubah
Holokaus menjadi alat politik’, sebagaimana kami terangkan di muka, dan ini
amat salah.
Para Ahli Kitab dalam Al Qur’anSepanjang buku ini, kita akan membahas
kekejaman yang dilakukan terhadap kaum Yahudi, dan cara sebagian orang Yahudi
berhubungan rahasia dengan para perencana penindasan itu, yakni kaum Nazi. Karena itu, penting untuk menjernihkan
bagaimana kita sebagai Muslim memandang masalah ‘bangsa Yahudi dan Yudaisme,’
demi menghilangkan prasangka dan kesalahpahaman, serta memupus kecurigaan
anti-Semitisme apa pun, yang segera terlintas di benak kapan pun hal-hal itu
dibicarakan.
Di dalam
satu ayat suci, Allah mengungkapkan bahwa manusia tak boleh dinilai menurut
ras, warna kulit atau asal etnis, melainkan akhlaknya.
Hai manusia! Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi
Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 49: 13)
Apa yang
dikatakan ayat ini mengungkapkan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan aneka ras
dan etnis. Beragam suku dan ras, yang
semuanya hamba-hamba Allah, wajib saling mengenal, dengan kata lain, saling
mempelajari perbedaan budaya, bahasa, adat, dan kepandaian di antara
mereka. Salah satu maksud di balik
adanya keanekaragaman ras dan bangsa adalah kekayaan budaya, bukan perang dan
pertikaian.
Nilai-nilai
akhlak dan pemikiran yang ditekankan ayat itu dan ayat-ayat lain Al Qur’an
membuat sepenuhnya jelas bahwa seorang Muslim tak boleh terlibat rasisme atau
menilai orang dari rasnya. Karena itu,
sama sekali tak beralasan bagi kita sebagai Muslim memendam pemikiran buruk
tentang orang Yahudi atau ras lainnya sekedar karena asal etnis mereka.
Jika beralih
merenungkan masalah ini dari sudut pandang Yudaisme, kita menemukan satu fakta
penting lainnya yang telah ditekankan di dalam Al Qur’an: kaum Yahudi dan
Nasrani dilukiskan di dalam Al Qur’an sebagai kaum ahli kitab, dan karena itu
lebih dekat dengan kaum Muslim daripada kaum ateis atau pagan (penyembah
berhala). Sejauh mana pun Taurat dan
Injil diselewengkan, dan sejauh mana pun penyelewengan itu membawa pemeluk Yahudi
dan Nasrani ke keimanan yang menyimpang, ujung-ujungnya mereka semua beriman
kepada Tuhan dan tunduk kepada perintahNya (dan tetap lebih baik daripada
mereka yang tak mengimaniNya).
Satu pembeda
penting antara para ahli kitab dan mereka yang mengingkari Allah dilukiskan di
dalam Al Qur’an. Misalnya, kelompok
terakhir digambarkan dengan kalimat berikut: “...sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis. Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil
Haram sesudah tahun ini...” (QS.
At-Taubah, 9: 28) Hal ini karena mereka yang mengingkari Allah tak
mengakui hukum Ilahiah, tak memiliki acuan akhlak, dan bisa ringan hati
terlibat segala bentuk kejahatan dan penyimpangan.
Sebaliknya,
kaum ahli kitab memiliki acuan akhlak tertentu yang bersandarkan wahyu Allah,
maupun konsep-konsep apa yang boleh dan apa yang terlarang. Itulah mengapa kaum Muslim diharamkan memakan
makanan yang disiapkan siapa pun selain para ahli kitab (sepanjang memenuhi
syarat kehalalan). Begitu juga,
laki-laki Muslim diizinkan menikahi perempuan dari golongan ahli kitab. Allah berfirman tentang hal ini dalam ayat
terkait:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah
amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah, 5: 5)
Aturan-aturan ini menunjukkan bahwa ikatan kasih sayang yang
berujung di pernikahan dapat dibangun di antara kaum Muslim dan para ahli
kitab, dan masing-masing pihak dapat menerima undangan makan dari yang lain;
semua itu memungkinkan terbinanya hubungan antarmanusia yang hangat dan hidup
berdampingan yang damai. Karena Qur’an
menganjurkan pandangan yang moderat (tengah-tengah) dan bertenggang rasa
seperti itu, tidaklah beralasan bagi kita Muslim menyimpan pemikiran yang
bertentangan dengan Qur’an.
Di sisi
lain, tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, biara-biara, gereja-gereja, dan
sinagog-sinagog, dijelaskan di dalam Al Qur’an berada di bawah perlindungan
Allah:
“...dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj, 22: 40)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua Muslim harus menghargai tempat-tempat
ibadah kaum ahli kitab, maupun pentingnya melindungi tempat-tempat itu.
Sungguh, jika seseorang mengamati sejarah Islam, ada sebuah kenyataan yang
menyolok bahwa para ahli kitab selalu diperlakukan santun dan penuh tenggang
rasa di dalam masyarakat Muslim. Ini
khususnya terbukti di zaman Khilafah Utsmaniyah (Ottoman), dari mana negara
Turki masa kini berasal. Merupakan suatu
kenyataan yang luas diketahui bahwa kaum Yahudi ditolak tinggal di dan diusir
dari negara Katolik Spanyol, namun menemukan kedamaian yang mereka cari di
negeri Utsmaniyah. Ketika merebut
Konstantinopel, Sultan Mahmud Sang Penakluk mengizinkan kaum Yahudi dan Nasrani
tinggal di sana dengan bebas. Sepanjang
sejarah Khilafah Utsmaniyah, kaum Yahudi dianggap sebagai ahli kitab dan
dibiarkan hidup tenteram.
Tak pernah terjadi di dunia Islam praktik-praktik Inkuisisi
(pemurnian ajaran – seperti yang dilakukan Katolik Eropa) yang lahir dari
kefanatikan agama maupun anti-Semitisme yang lahir dari rasisme, dua hal yang
terlihat dalam sejarah Eropa. Mengenai
perseteruan antara kaum Yahudi dan Muslim di Timur Tengah di abad ke-20, itu
timbul ketika bangsa Yahudi berpaling kepada ideologi rasis tak-beragama
Zionisme, dan kaum Muslim sama sekali tak bertanggung jawab atas hal itu.
Kesimpulannya,
mutlak tak dibenarkan bagi kita kaum Muslim, yang berpikir sejalan dengan apa
yang digariskan Al Qur’an, untuk memiliki sedikit pun rasa permusuhan kepada
kaum Yahudi karena agama atau keimanan mereka.
Akar Kelam Anti-SemitismeHal lain
yang perlu dijelaskan adalah bahwa ideologi yang dikenal sebagai anti-Semitisme
merupakan sebuah ajaran pagan (penyembahan berhala) yang tak akan pernah dianut
seorang Muslim.
Kita perlu menelaah akar anti-Semitisme untuk melihatnya lebih jelas. Istilah ‘anti-Semitisme’ umum digunakan dalam
makna ‘kebencian kepada kaum Yahudi’, sekalipun makna sebenarnya adalah
‘kebencian kepada ras Semit’, dengan kata lain, segenap ras Semit. Ini mencakup orang-orang Arab, Yahudi, dan
beberapa kelompok etnis lainnya di Timur Tengah. Terdapat kemiripan yang dekat di antara
bahasa-bahasa dan kebudayaan-kebudayaan Semit.
Misalnya, bahasa Arab dan Ibrani amat
mirip satu sama lain.
Kelompok ras
dan bahasa terbesar kedua yang telah mempengaruhi sejarah dunia adalah
‘Indo-Eropa’. Sebagian besar
bangsa-bangsa Eropa masa kini berasal dari kelompok ini.
Tiada
keraguan bahwa para Nabi telah diutus ke semua ragam peradaban dan masyarakat
ini untuk mengabarkan tentang keberadaan dan keesaan Allah serta
perintah-perintahNya. Ketika meneliti
sejarah tertulis, kita melihat bahwa bangsa-bangsa Indo-Eropa telah memeluk
kepercayan pagan sejak zaman yang sangat kuno.
Peradaban Yunani dan Romawi, serta suku-suku biadab seperti Jerman dan
Viking yang tinggal di Eropa Utara pada masa yang sama, semuanya memeluk
kepercayaan politeis (banyak tuhan) dan pagan.
Itulah mengapa seluruh peradaban kuno itu tak beracuan akhlak sama
sekali. Mereka menganggap kekerasan dan
kebengisan sah-sah saja dan patut dipuji, serta secara luas terlibat
perbuatan-perbuatan mesum seperti homoseksual dan perzinahan. Tak boleh kita melupakan bagaimana Kekaisaran
Romawi, yang umum dipandang sebagai lambang terpenting peradaban Indo-Eropa,
sebenarnya sebuah masyarakat keji tempat manusia dicabik-cabik di sebidang
tanah lapang hanya untuk hiburan.
Suku-suku
pagan yang menguasai Eropa ini mulai mempercayai satu Tuhan baru ketika di
bawah pengaruh seorang nabi yang diutus kepada ras-ras Semit, yakni, Nabi
Isa. Risalah Nabi Isa, yang diutus
sebagai nabi untuk Bani Israel dan beliau sendiri secara ras dan bahasa adalah
seorang Yahudi, perlahan-lahan mulai menyebar ke seluruh Eropa, dan suku-suku
yang sebelumnya pagan mulai satu per satu menerima ajaran Nasrani. (Di sini, kami mesti mengingatkan bahwa saat
itu ajaran Nasrani telah dicemari, dan gagasan sesat Trinitas mulai memasuki
agama itu).
Namun, bersama dengan melemahnya
pengaruh Nasrani di Eropa pada abad ke-18 dan 19, dan kian kuatnya ideologi dan
filsafat yang mendukung ateisme, sebuah gerakan yang tak lazim lahir: neo-paganisme. Para pemimpin gerakan ini menolak ajaran
Nasrani yang dianut masyarakat Eropa dan bersikeras bahwa kembali ke
kepercayaan pagan kuno mereka itu penting.
Menurut para neo-pagan ini, pemahaman akhlak masyarakat pagan Eropa
(yakni, jiwa biadab, suka berperang, kejam, yang terhibur oleh pertumpahan
darah dan tak mengenal penahanan diri) itu lebih hebat dari yang timbul ketika
mereka berpaling ke ajaran Nasrani (yakni, akhlak rendah hati, welas asih, dan
jiwa beriman)
Seorang
wakil terkemuka gerakan itu, yang juga dianggap sebagai salah satu pendiri
utama fasisme, adalah Friedrich Nietzsche, yang sangat keras memusuhi ajaran
Nasrani dan percaya bahwa agama telah merusak jiwa ksatria bangsa Jerman dan,
karena itu, saripati kemuliaannya. Ia
menyerang ajaran Nasrani dalam bukunya Anti-Christ
(Anti-Kristus) dan membela budaya-budaya pagan kuno dalam bukunya Thus Spake Zarathustra (Dan Bersabdalah
Zarathustra). (Catatan: Zarathustra
adalah pengembang ajaran Zoroastrianisme, sebuah agama kuno Persia.)
Selain
sangat memusuhi ajaran Nasrani, kaum neo-pagan juga memiliki kebencian besar
kepada Yudaisme yang mereka anggap akar dasar agama Nasrani. Mereka bahkan menggambarkan agama Nasrani
sebagai ‘dunia yang ditundukkan sepotong gagasan Yahudi’ dan menganggapnya
sebuah ‘persekongkolan Yahudi’. Tak
diragukan, kaum neo-pagan juga membenci Islam, satu-satunya agama yang berTuhan
esa, dengan sama bencinya.
Gerakan neo-pagan ini mengobarkan api kebencian terhadap agama sekaligus
melahirkan ideologi fasisme dan anti-Semitisme.
Saat kita secara khusus mengamati landasan-landasan ideologi Nazi,
tampak jelas bahwa Hitler dan kawan-kawannya adalah pagan dalam makna yang
sebenar-benarnya.
Nazisme: Paganisme Abad ke-20
Satu peran terpenting dalam pengembangan ideologi Nazi di
Jerman dimainkan oleh pemikir Jorg Lanz von Liebenfels, seorang penganut setia
neo-paganisme. Dialah orang pertama yang
menemukan bintang swastika, yang kemudian menjadi lambang Partai Nazi, dari
sumber-sumber ajaran pagan dan benar-benar menggunakannya. Organisasi Ordo Novi Templi yang didirikan
oleh Lanz mengabdikan diri sepenuhnya demi kebangkitan kembali paganisme. Lanz secara terbuka menyatakan memuja Wotan,
salah satu dewa suku-suku pagan Jerman kuno.
Dalam pandangannya, Wotanisme adalah agama alamiah rakyat Jerman, dan
bangsa Jerman hanya dapat diselamatkan dengan kembali menganutnya.
Ideologi Nazi berkembang sepanjang garis-garis yang ditarik
oleh Lanz dan para pemikir neo-pagan serupa.
Alfred Rosenberg, tokoh terdepan di kalangan pemikir Nazi, secara
terbuka menyatakan bahwa ajaran Nasrani tak mampu memberikan ‘energi jiwa
(spiritual)’ bagi Jerman baru yang sedang dibina di bawah kepemimpinan Hitler;
karena itu, bangsa Jerman harus kembali kepada agama pagan kunonya. Menurut pandangan Rosenberg, lambang-lambang
keagamaan di gereja pasti akan disingkirkan jika Nazi berkuasa, ditukar dengan
salinan buku Hitler Mein Kampf (Pertarunganku),
swastika, dan pedang yang mewakili keunggulan Jerman. Hitler sangat terpengaruh oleh pandangan
Rosenberg, namun gagal menerapkan teori agama Jerman baru itu karena khawatir
terjadi protes sosial besar-besaran. (1)
Meski
demikian, sejumlah perbuatan pagan dipraktikkan selama Nazi berkuasa. Sesaat setelah Hitler berkuasa, hari-hari dan
perayaran-perayaan suci Nasrani mulai dilarang dan ditukar dengan pilihan
pagannya. Selama upacara pernikahan,
sumpah dilakukan atas nama dewa-dewa khayal, misalnya ‘Ibu Bumi’ atau ‘Bapa
Langit’. Pada tahun 1935,
sekolah-sekolah dilarang membiarkan murid-muridnya mengucapkan doa-doa
Nasrani. Lalu, pelajaran agama Nasrani
sepenuhnya dilarang.
Kepala SS (Schutz-Staffel, Pasukan Pertahanan) Heinrich
Himmler menyatakan tentang kebencian rejim Nazi pada ajaran Nasrani: ‘Agama ini
wabah penyakit terburuk yang pernah disaksikan dunia. Karena itu, ia perlu disembuhkan.’ (2)
Jadi, permusuhan kaum Nazi kepada kaum
Yahudi merupakan bagian terpadu ideologi-ideologi anti-agama ini. Karena menganggap bahwa ajaran Nasrani itu
sebuah ‘persekongkolan Yahudi’, kaum Nazi mencoba memisahkan masyarakat Jerman
dari ajaran Nasrani di satu sisi, dan di sisi lain, memaksa kaum Yahudi meninggalkan
Jerman dengan melakukan berbagai bentuk tekanan pada mereka dan
menyelenggarakan serangan-serangan jalanan.
(Persekutuan antara Zionisme dan Nazisme lahir pada waktu ini,
sebagaimana akan kita lihat lebih rinci di Bab Dua).
Ketika mengamati beragam kelompok neo-Nazi dan fasis di barisan depan
anti-Semitisme masa kini, kita melihat hampir semua mereka berideologi
anti-agama yang sama dan memakai semboyan-semboyan yang berdasarkan
konsep-konsep pagan.
Akar Darwinis dari Nazisme
Segi penting lain kebangkitan pandangan dunia Nazi adalah cara mereka
merangkul teori evolusi Darwin.
Ketika mengemukakan teorinya, Charles Darwin menyatakan bahwa ada
pertarungan terus-menerus demi bertahan hidup di alam ini, dan bahwa beberapa
‘ras’ lebih diunggulkan dalam pertarungan itu, sementara ras-ras lain akan
terkutuk untuk kalah dan ‘tersingkir’.
Seperti dapat diduga, pemikiran-pemikiran ini segera menjadi landasan
ilmiah rasisme. James Joll, seorang
profesor selama bertahun-tahun di universitas-universitas seperti Oxford,
Standford dan Harvard, menggambarkan pertalian ideologis antara Darwinisme dan
rasisme dalam bukunya Europe Since 1870 (Eropa
Sejak 1870), yang masih dipakai sebagai buku paket universitas (kutipan 3)
Kesetiaan Hitler pada teori Darwin tampak dalam bukunya Mein Kampf (Pertarunganku), pertarungan
yang dimaksudkan tentulah pertarungan demi bertahan hidup yang dikemukakan
Darwin.
Kaitan ideologis Hitler, dan selanjutnya kaum Nazi, dengan Darwinisme
muncul dalam bentuk nyata bersama kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan
setelah berkuasa. Kebijakan-kebijakan
rasial Nazi ini dikenal sebagai ‘eugenik’, dan mewakili teori evolusi
sebagaimana diterapkan ke masyarakat.
Eugenik berarti penyingkiran orang-orang sakit dan cacat, dan ‘perbaikan’
ras manusia dengan cara meningkatkan jumlah orang-orang yang sehat. Menurut teori eugenik, ras manusia dapat
diperbaiki melalui cara yang sama dengan cara bibit-bibit hewan unggul
dibentuk, yakni dengan mengawinkan hewan-hewan yang sehat.
Teori ini diajukan oleh keponakan Charles Darwin, Francis Galton, dan
puteranya Leonardo Darwin. Orang pertama
yang terpengaruh dan menyebarkan teori ini di Jerman adalah seorang ahli
biologi evolusionis terkenal, Ernst Haeckel, yang juga teman karib sekaligus
pendukung Darwin. Ia menganjurkan agar
bayi-bayi yang cacat segera dibunuh, dan bahwa tindakan ini akan mempercepat
evolusi masyarakat. Dia bahkan
berpendapat lebih jauh, dan menyatakan bahwa penderita lepra, penderita kanker,
dan penyandang cacat mental, semuanya harus dihabisi tanpa ampun; jika tidak,
orang-orang seperti mereka akan menjadi beban masyarakat dan memperlambat
proses evolusi.
Haeckel meninggal dunia tahun 1919,
namun gagasan-gagasannya diwariskan kepada kaum Nazi. Sesaat setelah merebut kekuasaan, Hitler
memberlakukan program resmi eugenik.
Kata-kata berikut dari buku Mein
Kampf merangkum kebijakan baru itu: ‘Pendidikan mental dan fisik sangat
penting bagi negara, pun penyaringan masyarakat setidaknya sama pentingya. Negara bertanggung jawab menetapkan bahwa
tidak patut bagi orang-orang berpenyakit keturunan atau jelas-jelas tak sehat
untuk berketurunan... Negara tidak boleh
berbelas kasihan maupun menunggu negara-negara lain mengerti selagi memenuhi
tanggung jawab itu... Mencegah
orang-orang penyandang cacat fisik atau tak sehat memiliki anak selama 600
tahun... akan menghasilkan perbaikan
dalam kesehatan manusia yang sekarang ini belum tercapai. Jika orang-orang tersehat suatu ras
berkembang biak secara terencana, hasilnya adalah ... suatu ras tanpa benih-benih cacat fisik dan
mental yang sejauh ini kita bawa bersama kita.’ (4)
Sebagai akibat ideologi Hitler itu, kaum Nazi mengumpulkan orang-orang
yang sakit mental, cacat, buta sejak lahir, dan mengidap penyakit keturunan,
lalu mengirim mereka ke ‘pusat-pusat pemandulan (sterilisasi)’ khusus. Berdasarkan undang-undang yang diterbitkan
tahun 1933, 350 ribu orang sakit mental, 30 ribu orang gipsi dan ratusan
anak-anak kulit berwarna dimandulkan dengan cara dikebiri, sinar-X, suntikan,
atau sengatan listrik pada alat kelamin.
Sebagaimana dikatakan seorang perwira Nazi, ‘Nazisme itu sekedar ilmu
biologi terapan’.(5)
Apa yang dianggap Nazi sebagai ‘biologi terapan’ sebenarnya teori evolusi
Darwin, yang itu sendiri suatu
pelanggaran hukum-hukum dasar biologi.
Di masa kini, telah jelas dibuktikan bahwa baik konsep eugenik dan
pernyataan-pernyataan kaum Darwinis lainnya, sama sekali tak berlandasan
ilmiah.
Akhirnya, kita mesti amat menegaskan bahwa kelekatan kaum Nazi pada teori
evolusi terkait dengan permusuhan mereka terhadap agama maupun
kebijakan-kebijakan rasis mereka.
Sebagaimana telah kita ketahui, kaum Nazi memendam kebencian mendalam
terhadap agama-agama Ilahiah, dan berniat menggantikannya dengan
kepercayaan-kepercayaan pagan. Orang-orang
seperti mereka merasa perlu melakukan propaganda anti-agama dan pencucian otak,
serta menyadari bahwa Darwinisme merupakan cara terefektif melakukan hal
itu. Buku Scientific Origin of National Socialism (Asal-Muasal Ilmiah
Nazisme) membenarkan hal ini dengan kata-kata berikut, (kutipan 6)
Landasan utama yang mendasari sifat menindas dan kejam Nazi adalah
ideologi-ideologi anti-agama dan Darwinis yang sama ini.
Akhlak Al Qur’an akan
Melenyapkan Anti-Semitisme dan Semua Bentuk Rasisme
Kesimpulan yang kita peroleh sejauh
ini adalah:
Anti-Semitisme adalah ideologi kaum anti-agama dan Darwinis, yang akarnya
berhulu di neo-paganisme. Karena alasan
itulah, tak terbayangkan seorang Muslim mendukung atau merasa bersimpati pada
ideologi itu. Seorang anti-Semit juga
musuh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Daud, sebab mereka orang-orang yang
dipilih Allah dan diutus untuk memberikan teladan bagi seluruh umat manusia.
Dengan cara serupa seperti anti-Semitisme, bentuk-bentuk lain rasisme
(misalnya, kebencian kepada orang kulit berwarna) adalah juga
penyimpangan-penyimpangan yang timbul dari beragam ideologi dan takhyul yang
tak berkaitan dengan agama-agama Ilahiah.
Jika
seseorang menelaah anti-Semitisme dan contoh-contoh rasisme lainnya, jelas
tampak bagaimana semua itu membela gagasan-gagasan dan model-model masyarakat
yang bertolak belakang dengan akhlak Al Qur’an.
Misalnya, rasa kebencian, kekerasan,
dan kekejaman terletak di akar anti-Semitisme.
(Karena itulah para anti-Semit sebenarnya telah meniru agama-agama pagan
suku-suku biadab kuno). Seorang
anti-Semit bahkan dapat melangkah lebih jauh dengan membela pembantaian dan
penyiksaan bangsa Yahudi, tanpa membedakan apakah perempuan, anak-anak, atau
manula. Sebaliknya, akhlak Al Qur’an
mengajarkan cinta, rasa sayang, dan welas asih.
Al Qur’an mengajarkan kaum Muslim berlaku adil dan pemaaf, bahkan
terhadap musuh-musuh mereka.
Orang-orang anti-Semit dan rasis lainnya tidak rela hidup damai dengan
orang-orang dari etnis atau kepercayaan berbeda. (Misalnya, kaum Nazi, yang adalah kaum rasis
Jerman, dan kaum Zionis, mitra sejajar Yahudinya, menentang gagasan tentang
bangsa Jerman dan Yahudi hidup bersama, dan masing-masing berpikir hal itu akan
membawa kerusakan bagi bangsa masing-masing).
Sebaliknya, Al Qur’an mendorong manusia dari beragam kepercayaan hidup
bersama secara damai dan tenteram di bawah suatu bangunan sosial yang sama,
seperti Al Qur’an juga tak membolehkan terjadinya pembedaan perlakuan
(diskriminasi) di antara ras-ras.
Sudut pandang yang diajarkan di dalam Al Qur’an tak membuat penilaian
umum berdasarkan ras, bangsa, maupun agama.
Selalu ada warga yang baik dan buruk di setiap masyarakat. Al Qur’an membuat pembedaan amat jelas. Setelah merangkum bahwa sebagian kaum ahli
kitab mengingkari Allah dan agamanya, Al Qur’an melanjutkan dengan menekankan
bahwa hal itu suatu pengecualian dan mengatakan:
Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu
di malam hari dan mereka juga bersujud.
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada
yang ma’ruf, serta mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang
saleh. Dan apa saja kebajikan yang
mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya;
dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS.
Ali Imran, 3: 113-115)
Al Qur’an memang membedakan antara
mereka yang tidak percaya dan mereka yang menolak mengakui Allah dan agamaNya,
dan memerintahkan bahwa mereka yang tak menunjukkan permusuhan terhadap agama
Allah harus diperlakukan dengan baik:
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS.
Al-Mumtahanah, 60: 8-9).
Allah memerintahkan bahwa konsep keadilan harus diterapkan bahkan kepada
musuh-musuh kaum Muslim:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al Maidah, 5: 8)
Kesimpulan
Untuk merangkum apa yang telah kita tinjau sejauh ini:
1. Sebagaimana telah kita ketahui, akhlak Al
Qur’an menyingkirkan segala bentuk rasisme.
Karena itu, seorang Muslim yang taat kepada Al Qur’an tidak akan pernah
terlibat rasisme, dan tidak memandang rendah orang lain karena ia dari ras yang
berbeda.
2. Al Qur’an memerintahkan agar
agama-agama lain diperlakukan dengan sikap amat santun dan ramah, selama tidak
berperilaku memusuhi kaum Muslimin dan Islam.
Karena itulah, seorang Muslim yang taat pada petunjuk Al Qur’an harus
berlaku ramah dan penuh pengertian kepada pemeluk-pemeluk agama lain, khususnya
kaum ahli kitab.
3. Ideologi-ideologi rasis seperti
Nazisme dan filsafat-filsafat anti-Semit adalah ajaran-ajaran sesat yang sama
sekali tidak memiliki tempat dalam agama, yang akarnya berhulu ke kebudayaan-kebudayan
pagan kuno. Pastilah tidak mungkin bagi
Muslim mana pun menghargai sedikit jua ajaran-ajaran semacam itu.
Pandangan kita tentang masalah-masalah Yudaisme dan genosida bergantung
kepada acuan-acuan dasar ini.
Sesungguhnya, buku ini telah disiapkan dengan rujukan ketat kepada
acuan-acuan itu. Dalam bab-bab
selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana tekanan Nazi kepada kaum Yahudi dikecam
tanpa pamrih. Juga, akan dijelaskan
bagaimana pandangan kaum Nazi dan kaum Zionis bahwa ‘ras yang berbeda tak boleh
bercampur’ adalah sebuah kesalahan besar, dan membela konsep ‘keanekaan ras,
asal etnis, dan pandangan, hidup berdampingan dengan damai.’
Keinginan kami adalah melihat seluruh gerakan anti-Semit seperti Nazisme
dan ideologi-ideologi seperti Zionisme yang terlibat rasisme atas nama kaum
Yahudi semuanya musnah, sebagaimana kami menginginkan terbinanya suatu tatanan
dunia yang berdasarkan keadilan, tempat seluruh ras dan agama dapat hidup
bersama.
Semoga bermanfaat :)
No comments:
Post a Comment