Thursday, 10 April 2014

KEBENARAN DIBALIK HOLOKAUS (HOLOKAUST)



Pada artikel ini, kita akan membahas dimensi-dimensi genosida dan kebiadaban yang dilakukan kaum Nazi pada kaum Yahudi dan ras-ras lain selama Perang Dunia II.  Satu fakta yang perlu diperjelas adalah bahwa kami sepenuhnya menentang keras semua bentuk genosida, penyiksaan, dan kekejaman, tanpa memandang agama, ras, atau asal etnisnya.  Kami sepenuhnya mengutuk serangan tak beralasan sekecil apa pun terhadap kaum Yahudi maupun bangsa-bangsa lain.

Alasannya adalah bahwa sebagai Muslim, kita mengikuti petunjuk yang diberikan Allah di dalam Al Qur’an.  Di dalam kitab itu, siapa pun yang melakukan kejahatan di dunia ini, berbuat kejam kepada orang lain, atau membunuh tanpa hak, akan dilaknat.  Menurut satu firman Ilahiah yang ada dalam Taurat, dan telah dijelaskan kepada kita di dalam Al Qur’an, “...barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya...”(QS.  Al-Maidah, 5: 32).  Karena itu, pembunuhan bahkan satu saja orang tak bersalah, merupakan kejahatan yang tak boleh dianggap remeh.

Adalah suatu fakta yang terang bahwa selama Perang Dunia II dan tahun-tahun sebelumnya, yang merupakan pokok bahasan buku ini, kaum Yahudi menjadi korban kebiadaban dan pembantaian besar-besaran.  Kami mengutuk pembunuhan dan penindasan orang-orang tak bersalah ini oleh Nazi, atau siapa pun.  Hal ini tak terbatas pada kaum Yahudi: mutlak tak ada pembenaran bagi kekejaman yang ditimpakan kepada puluhan juta orang tak bersalah yang kehilangan nyawa pada Perang Dunia II (apakah ia orang Jerman, Rusia, Inggris, Perancis, Jepang, Cina, gipsi, Kroasia, Polandia, Serbia, Arab, Bosnia, atau bangsa apa pun).  Para sejarawan menaksir bahwa sekitar 29 juta rakyat sipil terbunuh oleh Nazi sebelum dan selama perang, di kamp-kamp konsentrasi, ghetto-ghetto (perkampungan kumuh Yahudi), pembantaian militer dan pembunuhan politik.

Satu dari dua masalah penting yang dibahas buku ini adalah bahwa Nazi Jerman, yang bertanggung jawab atas kebengisan mengerikan itu, juga terlibat kerjasama rahasia dengan sejumlah pendiri negara Israel.  Banyak orang mungkin merasa hal ini sangat mengejutkan, namun fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa beberapa pendiri negara Israel, dengan kata lain kaum Zionis, pada satu waktu terlibat kerjasama yang erat dengan Nazi Jerman.  Dasar tindakan itu adalah mereka berpikir bahwa tekanan Nazi akan menjadi alasan kuat bagi kaum Yahudi Eropa berpindah ke Palestina.  Secara ekonomi dan politik, mereka mendukung kekuasaan Nazi yang akan melakukan kekejaman pada kaum mereka sendiri, dan banyak bangsa lainnya, serta menyambut gembira kebijakan-kebijakan rasis Nazi.

Ini suatu hal penting, karena kebiadaban Nazi dan tragedi kaum Yahudi yang menjadi korbannya telah digunakan sebagai alat politik sejak Perang Dunia II hingga kini.  Untuk membenarkan kebijakan pendudukan dan terornya, dan membungkam kecaman yang terarah padanya, negara Israel terus bersembunyi di balik konsep ‘Holokaus’.  Sesungguhnya, berdirinya negara Israel sebagian besar dimungkinkan berkat dukungan dan simpati dunia yang diilhami konsep genosida itu.  Hal lain yang akan kita bahas dalam buku ini adalah fakta bahwa kebijakan pemusnahan Nazi tak hanya ditujukan pada kaum Yahudi, namun juga pada etnis, kelompok agama dan kelompok etnis lain, seperti orang-orang gipsi, Polandia, Slavia, penganut Katolik yang taat, penganut Kesaksian Yehova (sebuah aliran agama Nasrani), serta para penyandang cacat fisik dan mental.  Benar bahwa kaum Yahudi, yang 5,5 juta orang di antaranya terbunuh di kamp-kamp konsentrasi, adalah korban terbanyak kebiadaban Nazi.  Namun, sebenarnya, jumlah seluruh korban yang terbunuh di kamp-kamp itu mencapai lebih dari 11 juta orang, dan lebih dari setengah jumlah itu mencakup anggota bangsa-bangsa yang disebutkan di atas.  Genosida yang ditimpakan kepada orang-orang ini harus dikenang tak kurang daripada yang ditimpakan kepada kaum Yahudi.  Penggambaran bahwa kebiadaban Nazi khusus ditujukan kepada kaum Yahudi adalah bagian dari upaya ‘mengubah Holokaus menjadi alat politik’, sebagaimana kami terangkan di muka, dan ini amat salah.

Para Ahli Kitab dalam Al Qur’anSepanjang buku ini, kita akan membahas kekejaman yang dilakukan terhadap kaum Yahudi, dan cara sebagian orang Yahudi berhubungan rahasia dengan para perencana penindasan itu, yakni kaum Nazi.  Karena itu, penting untuk menjernihkan bagaimana kita sebagai Muslim memandang masalah ‘bangsa Yahudi dan Yudaisme,’ demi menghilangkan prasangka dan kesalahpahaman, serta memupus kecurigaan anti-Semitisme apa pun, yang segera terlintas di benak kapan pun hal-hal itu dibicarakan.

Di dalam satu ayat suci, Allah mengungkapkan bahwa manusia tak boleh dinilai menurut ras, warna kulit atau asal etnis, melainkan akhlaknya.

Hai manusia!  Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  (QS.  Al-Hujurat, 49: 13)

Apa yang dikatakan ayat ini mengungkapkan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan aneka ras dan etnis.  Beragam suku dan ras, yang semuanya hamba-hamba Allah, wajib saling mengenal, dengan kata lain, saling mempelajari perbedaan budaya, bahasa, adat, dan kepandaian di antara mereka.  Salah satu maksud di balik adanya keanekaragaman ras dan bangsa adalah kekayaan budaya, bukan perang dan pertikaian.

Nilai-nilai akhlak dan pemikiran yang ditekankan ayat itu dan ayat-ayat lain Al Qur’an membuat sepenuhnya jelas bahwa seorang Muslim tak boleh terlibat rasisme atau menilai orang dari rasnya.  Karena itu, sama sekali tak beralasan bagi kita sebagai Muslim memendam pemikiran buruk tentang orang Yahudi atau ras lainnya sekedar karena asal etnis mereka.

Jika beralih merenungkan masalah ini dari sudut pandang Yudaisme, kita menemukan satu fakta penting lainnya yang telah ditekankan di dalam Al Qur’an: kaum Yahudi dan Nasrani dilukiskan di dalam Al Qur’an sebagai kaum ahli kitab, dan karena itu lebih dekat dengan kaum Muslim daripada kaum ateis atau pagan (penyembah berhala).  Sejauh mana pun Taurat dan Injil diselewengkan, dan sejauh mana pun penyelewengan itu membawa pemeluk Yahudi dan Nasrani ke keimanan yang menyimpang, ujung-ujungnya mereka semua beriman kepada Tuhan dan tunduk kepada perintahNya (dan tetap lebih baik daripada mereka yang tak mengimaniNya). 

Satu pembeda penting antara para ahli kitab dan mereka yang mengingkari Allah dilukiskan di dalam Al Qur’an.  Misalnya, kelompok terakhir digambarkan dengan kalimat berikut: “...sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.  Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini...” (QS.  At-Taubah, 9: 28) Hal ini karena mereka yang mengingkari Allah tak mengakui hukum Ilahiah, tak memiliki acuan akhlak, dan bisa ringan hati terlibat segala bentuk kejahatan dan penyimpangan.

Sebaliknya, kaum ahli kitab memiliki acuan akhlak tertentu yang bersandarkan wahyu Allah, maupun konsep-konsep apa yang boleh dan apa yang terlarang.  Itulah mengapa kaum Muslim diharamkan memakan makanan yang disiapkan siapa pun selain para ahli kitab (sepanjang memenuhi syarat kehalalan).  Begitu juga, laki-laki Muslim diizinkan menikahi perempuan dari golongan ahli kitab.  Allah berfirman tentang hal ini dalam ayat terkait:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.  Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.  (Dan dihalalkan mengawini) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.  Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.  Al-Maidah, 5: 5)

Aturan-aturan ini menunjukkan bahwa ikatan kasih sayang yang berujung di pernikahan dapat dibangun di antara kaum Muslim dan para ahli kitab, dan masing-masing pihak dapat menerima undangan makan dari yang lain; semua itu memungkinkan terbinanya hubungan antarmanusia yang hangat dan hidup berdampingan yang damai.  Karena Qur’an menganjurkan pandangan yang moderat (tengah-tengah) dan bertenggang rasa seperti itu, tidaklah beralasan bagi kita Muslim menyimpan pemikiran yang bertentangan dengan Qur’an.

Di sisi lain, tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, biara-biara, gereja-gereja, dan sinagog-sinagog, dijelaskan di dalam Al Qur’an berada di bawah perlindungan Allah:

“...dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.  Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya.  Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS.  Al-Hajj, 22: 40)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua Muslim harus menghargai tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, maupun pentingnya melindungi tempat-tempat itu.

Sungguh, jika seseorang mengamati sejarah Islam, ada sebuah kenyataan yang menyolok bahwa para ahli kitab selalu diperlakukan santun dan penuh tenggang rasa di dalam masyarakat Muslim.  Ini khususnya terbukti di zaman Khilafah Utsmaniyah (Ottoman), dari mana negara Turki masa kini berasal.  Merupakan suatu kenyataan yang luas diketahui bahwa kaum Yahudi ditolak tinggal di dan diusir dari negara Katolik Spanyol, namun menemukan kedamaian yang mereka cari di negeri Utsmaniyah.  Ketika merebut Konstantinopel, Sultan Mahmud Sang Penakluk mengizinkan kaum Yahudi dan Nasrani tinggal di sana dengan bebas.  Sepanjang sejarah Khilafah Utsmaniyah, kaum Yahudi dianggap sebagai ahli kitab dan dibiarkan hidup tenteram.

Tak pernah terjadi di dunia Islam praktik-praktik Inkuisisi (pemurnian ajaran – seperti yang dilakukan Katolik Eropa) yang lahir dari kefanatikan agama maupun anti-Semitisme yang lahir dari rasisme, dua hal yang terlihat dalam sejarah Eropa.  Mengenai perseteruan antara kaum Yahudi dan Muslim di Timur Tengah di abad ke-20, itu timbul ketika bangsa Yahudi berpaling kepada ideologi rasis tak-beragama Zionisme, dan kaum Muslim sama sekali tak bertanggung jawab atas hal itu.

Kesimpulannya, mutlak tak dibenarkan bagi kita kaum Muslim, yang berpikir sejalan dengan apa yang digariskan Al Qur’an, untuk memiliki sedikit pun rasa permusuhan kepada kaum Yahudi karena agama atau keimanan mereka. 

Akar Kelam Anti-SemitismeHal lain yang perlu dijelaskan adalah bahwa ideologi yang dikenal sebagai anti-Semitisme merupakan sebuah ajaran pagan (penyembahan berhala) yang tak akan pernah dianut seorang Muslim.

Kita perlu menelaah akar anti-Semitisme untuk melihatnya lebih jelas.  Istilah ‘anti-Semitisme’ umum digunakan dalam makna ‘kebencian kepada kaum Yahudi’, sekalipun makna sebenarnya adalah ‘kebencian kepada ras Semit’, dengan kata lain, segenap ras Semit.  Ini mencakup orang-orang Arab, Yahudi, dan beberapa kelompok etnis lainnya di Timur Tengah.  Terdapat kemiripan yang dekat di antara bahasa-bahasa dan kebudayaan-kebudayaan Semit.  Misalnya, bahasa Arab dan Ibrani amat mirip satu sama lain.

Kelompok ras dan bahasa terbesar kedua yang telah mempengaruhi sejarah dunia adalah ‘Indo-Eropa’.  Sebagian besar bangsa-bangsa Eropa masa kini berasal dari kelompok ini.

Tiada keraguan bahwa para Nabi telah diutus ke semua ragam peradaban dan masyarakat ini untuk mengabarkan tentang keberadaan dan keesaan Allah serta perintah-perintahNya.  Ketika meneliti sejarah tertulis, kita melihat bahwa bangsa-bangsa Indo-Eropa telah memeluk kepercayan pagan sejak zaman yang sangat kuno.  Peradaban Yunani dan Romawi, serta suku-suku biadab seperti Jerman dan Viking yang tinggal di Eropa Utara pada masa yang sama, semuanya memeluk kepercayaan politeis (banyak tuhan) dan pagan.  Itulah mengapa seluruh peradaban kuno itu tak beracuan akhlak sama sekali.  Mereka menganggap kekerasan dan kebengisan sah-sah saja dan patut dipuji, serta secara luas terlibat perbuatan-perbuatan mesum seperti homoseksual dan perzinahan.  Tak boleh kita melupakan bagaimana Kekaisaran Romawi, yang umum dipandang sebagai lambang terpenting peradaban Indo-Eropa, sebenarnya sebuah masyarakat keji tempat manusia dicabik-cabik di sebidang tanah lapang hanya untuk hiburan.

Suku-suku pagan yang menguasai Eropa ini mulai mempercayai satu Tuhan baru ketika di bawah pengaruh seorang nabi yang diutus kepada ras-ras Semit, yakni, Nabi Isa.  Risalah Nabi Isa, yang diutus sebagai nabi untuk Bani Israel dan beliau sendiri secara ras dan bahasa adalah seorang Yahudi, perlahan-lahan mulai menyebar ke seluruh Eropa, dan suku-suku yang sebelumnya pagan mulai satu per satu menerima ajaran Nasrani.  (Di sini, kami mesti mengingatkan bahwa saat itu ajaran Nasrani telah dicemari, dan gagasan sesat Trinitas mulai memasuki agama itu).

Namun, bersama dengan melemahnya pengaruh Nasrani di Eropa pada abad ke-18 dan 19, dan kian kuatnya ideologi dan filsafat yang mendukung ateisme, sebuah gerakan yang tak lazim lahir:  neo-paganisme.  Para pemimpin gerakan ini menolak ajaran Nasrani yang dianut masyarakat Eropa dan bersikeras bahwa kembali ke kepercayaan pagan kuno mereka itu penting.  Menurut para neo-pagan ini, pemahaman akhlak masyarakat pagan Eropa (yakni, jiwa biadab, suka berperang, kejam, yang terhibur oleh pertumpahan darah dan tak mengenal penahanan diri) itu lebih hebat dari yang timbul ketika mereka berpaling ke ajaran Nasrani (yakni, akhlak rendah hati, welas asih, dan jiwa beriman)

Seorang wakil terkemuka gerakan itu, yang juga dianggap sebagai salah satu pendiri utama fasisme, adalah Friedrich Nietzsche, yang sangat keras memusuhi ajaran Nasrani dan percaya bahwa agama telah merusak jiwa ksatria bangsa Jerman dan, karena itu, saripati kemuliaannya.  Ia menyerang ajaran Nasrani dalam bukunya Anti-Christ (Anti-Kristus) dan membela budaya-budaya pagan kuno dalam bukunya Thus Spake Zarathustra (Dan Bersabdalah Zarathustra).  (Catatan: Zarathustra adalah pengembang ajaran Zoroastrianisme, sebuah agama kuno Persia.) 

Selain sangat memusuhi ajaran Nasrani, kaum neo-pagan juga memiliki kebencian besar kepada Yudaisme yang mereka anggap akar dasar agama Nasrani.  Mereka bahkan menggambarkan agama Nasrani sebagai ‘dunia yang ditundukkan sepotong gagasan Yahudi’ dan menganggapnya sebuah ‘persekongkolan Yahudi’.  Tak diragukan, kaum neo-pagan juga membenci Islam, satu-satunya agama yang berTuhan esa, dengan sama bencinya.

Gerakan neo-pagan ini mengobarkan api kebencian terhadap agama sekaligus melahirkan ideologi fasisme dan anti-Semitisme.  Saat kita secara khusus mengamati landasan-landasan ideologi Nazi, tampak jelas bahwa Hitler dan kawan-kawannya adalah pagan dalam makna yang sebenar-benarnya.

Nazisme: Paganisme Abad ke-20 
Satu peran terpenting dalam pengembangan ideologi Nazi di Jerman dimainkan oleh pemikir Jorg Lanz von Liebenfels, seorang penganut setia neo-paganisme.  Dialah orang pertama yang menemukan bintang swastika, yang kemudian menjadi lambang Partai Nazi, dari sumber-sumber ajaran pagan dan benar-benar menggunakannya.  Organisasi Ordo Novi Templi yang didirikan oleh Lanz mengabdikan diri sepenuhnya demi kebangkitan kembali paganisme.  Lanz secara terbuka menyatakan memuja Wotan, salah satu dewa suku-suku pagan Jerman kuno.  Dalam pandangannya, Wotanisme adalah agama alamiah rakyat Jerman, dan bangsa Jerman hanya dapat diselamatkan dengan kembali menganutnya.

Ideologi Nazi berkembang sepanjang garis-garis yang ditarik oleh Lanz dan para pemikir neo-pagan serupa.  Alfred Rosenberg, tokoh terdepan di kalangan pemikir Nazi, secara terbuka menyatakan bahwa ajaran Nasrani tak mampu memberikan ‘energi jiwa (spiritual)’ bagi Jerman baru yang sedang dibina di bawah kepemimpinan Hitler; karena itu, bangsa Jerman harus kembali kepada agama pagan kunonya.  Menurut pandangan Rosenberg, lambang-lambang keagamaan di gereja pasti akan disingkirkan jika Nazi berkuasa, ditukar dengan salinan buku Hitler Mein Kampf (Pertarunganku), swastika, dan pedang yang mewakili keunggulan Jerman.  Hitler sangat terpengaruh oleh pandangan Rosenberg, namun gagal menerapkan teori agama Jerman baru itu karena khawatir terjadi protes sosial besar-besaran.  (1)

Meski demikian, sejumlah perbuatan pagan dipraktikkan selama Nazi berkuasa.  Sesaat setelah Hitler berkuasa, hari-hari dan perayaran-perayaan suci Nasrani mulai dilarang dan ditukar dengan pilihan pagannya.  Selama upacara pernikahan, sumpah dilakukan atas nama dewa-dewa khayal, misalnya ‘Ibu Bumi’ atau ‘Bapa Langit’.  Pada tahun 1935, sekolah-sekolah dilarang membiarkan murid-muridnya mengucapkan doa-doa Nasrani.  Lalu, pelajaran agama Nasrani sepenuhnya dilarang. 

Kepala SS (Schutz-Staffel, Pasukan Pertahanan) Heinrich Himmler menyatakan tentang kebencian rejim Nazi pada ajaran Nasrani: ‘Agama ini wabah penyakit terburuk yang pernah disaksikan dunia.  Karena itu, ia perlu disembuhkan.’ (2)

Jadi, permusuhan kaum Nazi kepada kaum Yahudi merupakan bagian terpadu ideologi-ideologi anti-agama ini.  Karena menganggap bahwa ajaran Nasrani itu sebuah ‘persekongkolan Yahudi’, kaum Nazi mencoba memisahkan masyarakat Jerman dari ajaran Nasrani di satu sisi, dan di sisi lain, memaksa kaum Yahudi meninggalkan Jerman dengan melakukan berbagai bentuk tekanan pada mereka dan menyelenggarakan serangan-serangan jalanan.  (Persekutuan antara Zionisme dan Nazisme lahir pada waktu ini, sebagaimana akan kita lihat lebih rinci di Bab Dua).

Ketika mengamati beragam kelompok neo-Nazi dan fasis di barisan depan anti-Semitisme masa kini, kita melihat hampir semua mereka berideologi anti-agama yang sama dan memakai semboyan-semboyan yang berdasarkan konsep-konsep pagan. 

Akar Darwinis dari Nazisme
 Segi penting lain kebangkitan pandangan dunia Nazi adalah cara mereka merangkul teori evolusi Darwin. 

Ketika mengemukakan teorinya, Charles Darwin menyatakan bahwa ada pertarungan terus-menerus demi bertahan hidup di alam ini, dan bahwa beberapa ‘ras’ lebih diunggulkan dalam pertarungan itu, sementara ras-ras lain akan terkutuk untuk kalah dan ‘tersingkir’.  Seperti dapat diduga, pemikiran-pemikiran ini segera menjadi landasan ilmiah rasisme.  James Joll, seorang profesor selama bertahun-tahun di universitas-universitas seperti Oxford, Standford dan Harvard, menggambarkan pertalian ideologis antara Darwinisme dan rasisme dalam bukunya Europe Since 1870 (Eropa Sejak 1870), yang masih dipakai sebagai buku paket universitas (kutipan 3)

Kesetiaan Hitler pada teori Darwin tampak dalam bukunya Mein Kampf (Pertarunganku), pertarungan yang dimaksudkan tentulah pertarungan demi bertahan hidup yang dikemukakan Darwin.

Kaitan ideologis Hitler, dan selanjutnya kaum Nazi, dengan Darwinisme muncul dalam bentuk nyata bersama kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan setelah berkuasa.  Kebijakan-kebijakan rasial Nazi ini dikenal sebagai ‘eugenik’, dan mewakili teori evolusi sebagaimana diterapkan ke masyarakat. 

Eugenik berarti penyingkiran orang-orang sakit dan cacat, dan ‘perbaikan’ ras manusia dengan cara meningkatkan jumlah orang-orang yang sehat.  Menurut teori eugenik, ras manusia dapat diperbaiki melalui cara yang sama dengan cara bibit-bibit hewan unggul dibentuk, yakni dengan mengawinkan hewan-hewan yang sehat.

Teori ini diajukan oleh keponakan Charles Darwin, Francis Galton, dan puteranya Leonardo Darwin.  Orang pertama yang terpengaruh dan menyebarkan teori ini di Jerman adalah seorang ahli biologi evolusionis terkenal, Ernst Haeckel, yang juga teman karib sekaligus pendukung Darwin.  Ia menganjurkan agar bayi-bayi yang cacat segera dibunuh, dan bahwa tindakan ini akan mempercepat evolusi masyarakat.  Dia bahkan berpendapat lebih jauh, dan menyatakan bahwa penderita lepra, penderita kanker, dan penyandang cacat mental, semuanya harus dihabisi tanpa ampun; jika tidak, orang-orang seperti mereka akan menjadi beban masyarakat dan memperlambat proses evolusi.

Haeckel meninggal dunia tahun 1919, namun gagasan-gagasannya diwariskan kepada kaum Nazi.  Sesaat setelah merebut kekuasaan, Hitler memberlakukan program resmi eugenik.  Kata-kata berikut dari buku Mein Kampf merangkum kebijakan baru itu: ‘Pendidikan mental dan fisik sangat penting bagi negara, pun penyaringan masyarakat setidaknya sama pentingya.  Negara bertanggung jawab menetapkan bahwa tidak patut bagi orang-orang berpenyakit keturunan atau jelas-jelas tak sehat untuk berketurunan...  Negara tidak boleh berbelas kasihan maupun menunggu negara-negara lain mengerti selagi memenuhi tanggung jawab itu...  Mencegah orang-orang penyandang cacat fisik atau tak sehat memiliki anak selama 600 tahun...  akan menghasilkan perbaikan dalam kesehatan manusia yang sekarang ini belum tercapai.  Jika orang-orang tersehat suatu ras berkembang biak secara terencana, hasilnya adalah ...  suatu ras tanpa benih-benih cacat fisik dan mental yang sejauh ini kita bawa bersama kita.’ (4)

Sebagai akibat ideologi Hitler itu, kaum Nazi mengumpulkan orang-orang yang sakit mental, cacat, buta sejak lahir, dan mengidap penyakit keturunan, lalu mengirim mereka ke ‘pusat-pusat pemandulan (sterilisasi)’ khusus.  Berdasarkan undang-undang yang diterbitkan tahun 1933, 350 ribu orang sakit mental, 30 ribu orang gipsi dan ratusan anak-anak kulit berwarna dimandulkan dengan cara dikebiri, sinar-X, suntikan, atau sengatan listrik pada alat kelamin.  Sebagaimana dikatakan seorang perwira Nazi, ‘Nazisme itu sekedar ilmu biologi terapan’.(5)

Apa yang dianggap Nazi sebagai ‘biologi terapan’ sebenarnya teori evolusi Darwin, yang itu sendiri suatu  pelanggaran hukum-hukum dasar biologi.  Di masa kini, telah jelas dibuktikan bahwa baik konsep eugenik dan pernyataan-pernyataan kaum Darwinis lainnya, sama sekali tak berlandasan ilmiah.

Akhirnya, kita mesti amat menegaskan bahwa kelekatan kaum Nazi pada teori evolusi terkait dengan permusuhan mereka terhadap agama maupun kebijakan-kebijakan rasis mereka.  Sebagaimana telah kita ketahui, kaum Nazi memendam kebencian mendalam terhadap agama-agama Ilahiah, dan berniat menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan pagan.  Orang-orang seperti mereka merasa perlu melakukan propaganda anti-agama dan pencucian otak, serta menyadari bahwa Darwinisme merupakan cara terefektif melakukan hal itu.  Buku Scientific Origin of National Socialism (Asal-Muasal Ilmiah Nazisme) membenarkan hal ini dengan kata-kata berikut, (kutipan 6)

Landasan utama yang mendasari sifat menindas dan kejam Nazi adalah ideologi-ideologi anti-agama dan Darwinis yang sama ini.


Akhlak Al Qur’an akan Melenyapkan  Anti-Semitisme dan Semua Bentuk Rasisme

Kesimpulan yang kita peroleh sejauh ini adalah:
Anti-Semitisme adalah ideologi kaum anti-agama dan Darwinis, yang akarnya berhulu di neo-paganisme.  Karena alasan itulah, tak terbayangkan seorang Muslim mendukung atau merasa bersimpati pada ideologi itu.  Seorang anti-Semit juga musuh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Daud, sebab mereka orang-orang yang dipilih Allah dan diutus untuk memberikan teladan bagi seluruh umat manusia.

Dengan cara serupa seperti anti-Semitisme, bentuk-bentuk lain rasisme (misalnya, kebencian kepada orang kulit berwarna) adalah juga penyimpangan-penyimpangan yang timbul dari beragam ideologi dan takhyul yang tak berkaitan dengan agama-agama Ilahiah.

Jika seseorang menelaah anti-Semitisme dan contoh-contoh rasisme lainnya, jelas tampak bagaimana semua itu membela gagasan-gagasan dan model-model masyarakat yang bertolak belakang dengan akhlak Al Qur’an.

Misalnya, rasa kebencian, kekerasan, dan kekejaman terletak di akar anti-Semitisme.  (Karena itulah para anti-Semit sebenarnya telah meniru agama-agama pagan suku-suku biadab kuno).  Seorang anti-Semit bahkan dapat melangkah lebih jauh dengan membela pembantaian dan penyiksaan bangsa Yahudi, tanpa membedakan apakah perempuan, anak-anak, atau manula.  Sebaliknya, akhlak Al Qur’an mengajarkan cinta, rasa sayang, dan welas asih.  Al Qur’an mengajarkan kaum Muslim berlaku adil dan pemaaf, bahkan terhadap musuh-musuh mereka.

Orang-orang anti-Semit dan rasis lainnya tidak rela hidup damai dengan orang-orang dari etnis atau kepercayaan berbeda.  (Misalnya, kaum Nazi, yang adalah kaum rasis Jerman, dan kaum Zionis, mitra sejajar Yahudinya, menentang gagasan tentang bangsa Jerman dan Yahudi hidup bersama, dan masing-masing berpikir hal itu akan membawa kerusakan bagi bangsa masing-masing).  Sebaliknya, Al Qur’an mendorong manusia dari beragam kepercayaan hidup bersama secara damai dan tenteram di bawah suatu bangunan sosial yang sama, seperti Al Qur’an juga tak membolehkan terjadinya pembedaan perlakuan (diskriminasi) di antara ras-ras. 

Sudut pandang yang diajarkan di dalam Al Qur’an tak membuat penilaian umum berdasarkan ras, bangsa, maupun agama.  Selalu ada warga yang baik dan buruk di setiap masyarakat.  Al Qur’an membuat pembedaan amat jelas.  Setelah merangkum bahwa sebagian kaum ahli kitab mengingkari Allah dan agamanya, Al Qur’an melanjutkan dengan menekankan bahwa hal itu suatu pengecualian dan mengatakan:

Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari dan mereka juga bersujud.  Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, serta mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.  Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.  (QS.  Ali Imran, 3: 113-115)

Al Qur’an memang membedakan antara mereka yang tidak percaya dan mereka yang menolak mengakui Allah dan agamaNya, dan memerintahkan bahwa mereka yang tak menunjukkan permusuhan terhadap agama Allah harus diperlakukan dengan baik:
  
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.  Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.  Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.  (QS.  Al-Mumtahanah, 60: 8-9). 
Allah memerintahkan bahwa konsep keadilan harus diterapkan bahkan kepada musuh-musuh kaum Muslim:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.  Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS.  Al Maidah, 5: 8)

Kesimpulan 
Untuk merangkum apa yang telah kita tinjau sejauh ini:

1.  Sebagaimana telah kita ketahui, akhlak Al Qur’an menyingkirkan segala bentuk rasisme.  Karena itu, seorang Muslim yang taat kepada Al Qur’an tidak akan pernah terlibat rasisme, dan tidak memandang rendah orang lain karena ia dari ras yang berbeda.

2.  Al Qur’an memerintahkan agar agama-agama lain diperlakukan dengan sikap amat santun dan ramah, selama tidak berperilaku memusuhi kaum Muslimin dan Islam.  Karena itulah, seorang Muslim yang taat pada petunjuk Al Qur’an harus berlaku ramah dan penuh pengertian kepada pemeluk-pemeluk agama lain, khususnya kaum ahli kitab.

3.  Ideologi-ideologi rasis seperti Nazisme dan filsafat-filsafat anti-Semit adalah ajaran-ajaran sesat yang sama sekali tidak memiliki tempat dalam agama, yang akarnya berhulu ke kebudayaan-kebudayan pagan kuno.  Pastilah tidak mungkin bagi Muslim mana pun menghargai sedikit jua ajaran-ajaran semacam itu.

Pandangan kita tentang masalah-masalah Yudaisme dan genosida bergantung kepada acuan-acuan dasar ini.

Sesungguhnya, buku ini telah disiapkan dengan rujukan ketat kepada acuan-acuan itu.  Dalam bab-bab selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana tekanan Nazi kepada kaum Yahudi dikecam tanpa pamrih.  Juga, akan dijelaskan bagaimana pandangan kaum Nazi dan kaum Zionis bahwa ‘ras yang berbeda tak boleh bercampur’ adalah sebuah kesalahan besar, dan membela konsep ‘keanekaan ras, asal etnis, dan pandangan, hidup berdampingan dengan damai.’

Keinginan kami adalah melihat seluruh gerakan anti-Semit seperti Nazisme dan ideologi-ideologi seperti Zionisme yang terlibat rasisme atas nama kaum Yahudi semuanya musnah, sebagaimana kami menginginkan terbinanya suatu tatanan dunia yang berdasarkan keadilan, tempat seluruh ras dan agama dapat hidup bersama.

Semoga bermanfaat :)

No comments: